Obsesi gagasan “Keren” ala Kurikulum 2013
Penulis:
Meri Susanti
Mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia TM 2011
Ranah
pendidikan Indonesia kembali mengadakan agenda rutin dalam rangka peningkatan
kualitas pendidikan di negara berkembang demi menggapai arah pendidikan yang
lebih baik. Pemilik kuasa terhadap perubahan pendidikan di negeri ini tak
pernah lelah mencari formula terbaik untuk ramuan arah pendidikan yang tepat
sasaran dalam rangka memajukan dunia pendidikan. Tercatat dalam sejarah
sebanyak sembilan kali perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia, yaitu
kurikulum tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006
Belakangan
ini, pemerintah berencana mengeluarkan kurikulum baru pada tahun 2013, dengan
rancangan pendidikan penguatan nalar berpikir dan pembangunan karakter. Mulai
dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Sekilas, kurikulum ini sejalan dengan keinginan kurikulum
pendidikan yang diperlukan sekarang, yaitu kurikulum pendidikan berkarakter;
dalam arti kurikulum itu memiliki karakter dan sekaligus diorientasikan dalam
pembentukan karakter peserta didik.
Rencana perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dari Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013 menyisakan pertanyaan.
Apakah yang akan berubah dari Kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya? Dengan kata lain, apa yang baru dari kurikulum 2013?
Sebagai bahan perbandingan, jika dilihat kembali perubahan pada
kurikulum-kurikulum sebelumnya, sebenarnya dapat dilihat dan dirasakan bahwa perubahan
sebelumnya sudah jelas. Seperti pada Kurikulum 2004 yang dikenal dengan visi
kompetensinya, peserta didik bukan sekedar mengetahui tetapi dituntut untuk berkompeten,
yakni dapat mengintegrasikan antara: sikap, pengetahuan, dan keterampilan
secara baik. Selain itu yang dikenalkan dengan sebutan CTL atau pembelajaran
kontekstual, pembelajaran harus dikaitkn dengan kondisi lingkungan sekitar
agar bermakna.
Demikian
juga halnya dengan Kurikulum 2006 (KTSP) yang menyempurnakan kurikulum
sebelumnya. Pada model ini, penyusunan kurikulum menjadi kewenangan sekolah.
Sekolah membuat kurikulumnya sendiri berdasarkan karakteristik sekolah
masing-masing. Konsekuensi dari kurikulum berbasis kompetensi dan pembelajaran
kontekstual sangatlah jelas, bahwa pada praktis pembelajarannya, siswa dapat membangun
dan menemukan dengan sendiri pengetahuan yang didapat dari guru sebagai
fasilitator mereka.
Namun,
KTSP yang baru berjalan 6 tahun ini akan digantikan keberlayakannya sesuai
dengan rancangan baru Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Dimana
pengembangan kurikulum 2013 yang bertemakan dapat menghasilkan insan Indonesia
yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu
mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang
terintegrasi, menjadi motivation
perubahan kurikulum tersebut.
Nah,
dalam kurikulum 2013 memang ada tercantum salah satu visi, yaitu berbasis
karakter. Pertanyaannya,
barukah sesuatu yang dinamakan karakter itu? Sudah
jelas karakter sudah ada, sejak awal mula adanya guru dan pendidikan, bahkan
sebelumnya. Pertanyaan selanjutnya, apa konsekuensi dari kurikulum berbasis
karakter pada praktis pembelajarannya? Jika hanya sosialisasi karakter dan ketauladan
guru, itu bukanlah sesuatu yang baru. Dari dulu, guru sudah mengenalkan
karakter dan memberi tauladan sekecil apapun. Lantas apanya yang baru?
Memang
telah dijelaskan bahwa inti dari Kurikulum 2013 adalah adanya upaya
penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak
generasi yang siap dalam menghadapi masa depan. Sebab itu, kurikulum disusun
untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Titik beratnya, bertujuan untuk
mendorong peserta didik atau siswa, agar mampu lebih baik dalam melakukan
observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa
yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran.
Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan
kurikulum 2013, menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. (http://www.kemdiknas.go.id).
Namun
kurikulum 2013 menjadi sebuah yang ironi, apabila ditelisik lebih dalam lagi. Hal
ini sesuai yang disebutkan di sebuah media massa, bahwa perubahan kurikulum
merupakan wujud nyata dari kegilaan pemerintah. Kurikulum pendidikan, terlihat seperti
wabah penyakit bagi pengetahuan tingkat SD, SMP, dan SMA. Sebagaimana pemberitaan
di media cetak yang mengatakan orientasi SD akan diarahkan hanya pada ranah
sikap, SMP diarahkan hanya pada ranah keterampilan, dan SMA hanya pada ranah
pengetahuan. Ini merupakan hal yang sangat tidak masuk akal, karena pada
dasarnya sikap, keterampilan, dan pengetahuan adalah hal yang berkesinambungan.
Tidak
hanya itu, kurikulum ini juga akan memangkas jumlah mata pelajaran di SD, SMP,
dan SMA. Padahal bangsa kita cukup terkenal dengan berbagai prestasi gemilang
pada kompetisi-kompetisi tingkat internasional. Jika seandainya pengetahuan
sains dihilangkan sejak dini, sudah bisa dibayangkan, hal yang akan terjadi
adalah menurunnya prestasi bangsa dan akan menyakiti peserta didik, sebab
mereka sudah memiliki rasa cinta terhadap Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), hanya
saja mereka belum mampu meng-explore
lebih dalam kemampuannya itu.
Kurikulum
2013 yang dirumuskan secara tergopoh, sepertinya juga disusun atas dasar
substansi pendidikan yang masih tidak jelas, sehingga rujukan utama hanyalah
pikiran pemerintah (baca: Kemdikbud) yang telah terobsesi membuat gagasan keren (menurutnya), tetapi mengambang, yaitu
pendidikan karakter dan daya saing. Alhasil, produknya tidak menunjukkan suatu
koherensi utuh.
Sekretaris
Jendral National Education Watch, Jonner Sipangkar, mengatakan bahwa konsep
yang diusung pada kurikulum baru ini tidak ada yang baru. Semua yang digagas
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini, hanya mengulang kurikulum
dulu yang pernah digunakan sebelumnya. Rancangan kurikulum 2013 ini akan resmi dan
diterapkan pada bulan Juli 2013 mendatang apabila tidak ditemukan kendala.
Namun, berbagai pro-kontra telah menyambut lahirnya kurikulum baru. Masyarakat
banyak memprotes, menyoal pengurangan mata pelajaran dan penambahan jam
belajar. Esensi perubahannya pun condong buram.
Memang,
perubahan kurikulum merupakan hal biasa, bahkan sudah menjadi agenda rutinitas
yang harus dilaksanakan oleh negara berkembang dan tujuannya tak lepas untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Idealnya perubahan ini dilaksanakan sekali
sepuluah tahun. Akan tetapi menjadi
tanda tanya besar, kenapa pemerintah begitu tergesa-gesa menerapkan perubahan
ini secara nasional. Sebaiknya, pemerintah mengkaji ulang kurikulum 2013 ini,
karena kurikulumlah yang akan menentukan laju perkembangan pengetahuan dan kehidupan
masyarakat di masa depan.
Mengingat
tidak sedikit biaya yang diperlukan dan konsekuensi lainnya, bisa jadi akan
berakibat tidak baik bila penerapannya tidak tepat. Semoga pembuat kebijakan
pendidikan mendengar dan mau mengakomodir masukan-masukan dari berbagai pihak,
termasuk kegelisahan-kegelisahan di masyarakat yang berkaitan dengan rencana
pemberlakuan kurikulum 2013 tersebut, kemudian dapat mengambil langkah yang
tepat dan bijaksana. Demi kemaslahatan bersama, seluruh bangsa Indonesia.