Minggu, 17 Februari 2013

Artikel Pendidikan


Obsesi gagasan “Keren” ala Kurikulum 2013

Penulis: Meri Susanti
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia TM 2011

Ranah pendidikan Indonesia kembali mengadakan agenda rutin dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di negara berkembang demi menggapai arah pendidikan yang lebih baik. Pemilik kuasa terhadap perubahan pendidikan di negeri ini tak pernah lelah mencari formula terbaik untuk ramuan arah pendidikan yang tepat sasaran dalam rangka memajukan dunia pendidikan. Tercatat dalam sejarah sebanyak sembilan kali perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia, yaitu kurikulum tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006
Belakangan ini, pemerintah berencana mengeluarkan kurikulum baru pada tahun 2013, dengan rancangan pendidikan penguatan nalar berpikir dan pembangunan karakter. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekilas, kurikulum ini sejalan dengan keinginan kurikulum pendidikan yang diperlukan sekarang, yaitu kurikulum pendidikan berkarakter; dalam arti kurikulum itu memiliki karakter dan sekaligus diorientasikan dalam pembentukan karakter peserta didik.
Rencana perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dari Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013 menyisakan pertanyaan. Apakah yang akan berubah dari Kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya? Dengan kata lain, apa yang baru dari kurikulum 2013?
Sebagai bahan perbandingan, jika dilihat kembali perubahan pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, sebenarnya  dapat dilihat dan dirasakan bahwa perubahan sebelumnya sudah jelas. Seperti pada Kurikulum 2004 yang dikenal dengan visi kompetensinya, peserta didik bukan sekedar mengetahui tetapi dituntut untuk berkompeten, yakni dapat mengintegrasikan antara: sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara baik. Selain itu yang dikenalkan dengan sebutan CTL atau pembelajaran kontekstual, pembelajaran harus dikaitkn dengan kondisi lingkungan sekitar agar bermakna.
Demikian juga halnya dengan Kurikulum 2006 (KTSP) yang menyempurnakan kurikulum sebelumnya. Pada model ini, penyusunan kurikulum menjadi kewenangan sekolah. Sekolah membuat kurikulumnya sendiri berdasarkan karakteristik sekolah masing-masing. Konsekuensi dari kurikulum berbasis kompetensi dan pembelajaran kontekstual sangatlah jelas, bahwa pada praktis pembelajarannya, siswa dapat membangun dan menemukan dengan sendiri pengetahuan yang didapat dari guru sebagai fasilitator mereka.
Namun, KTSP yang baru berjalan 6 tahun ini akan digantikan keberlayakannya sesuai dengan rancangan baru Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Dimana pengembangan kurikulum 2013 yang bertemakan dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi, menjadi motivation perubahan kurikulum tersebut.
Nah, dalam kurikulum 2013 memang ada tercantum salah satu visi, yaitu berbasis karakter. Pertanyaannya, barukah sesuatu yang dinamakan karakter itu? Sudah jelas karakter sudah ada, sejak awal mula adanya guru dan pendidikan, bahkan sebelumnya. Pertanyaan selanjutnya, apa konsekuensi dari kurikulum berbasis karakter pada praktis pembelajarannya? Jika hanya sosialisasi karakter dan ketauladan guru, itu bukanlah sesuatu yang baru. Dari dulu, guru sudah mengenalkan karakter dan memberi tauladan sekecil apapun. Lantas apanya yang baru?            
Memang telah dijelaskan bahwa inti dari Kurikulum 2013 adalah adanya upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap dalam menghadapi masa depan. Sebab itu, kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Titik beratnya, bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, agar mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013, menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. (http://www.kemdiknas.go.id).
Namun kurikulum 2013 menjadi sebuah yang ironi, apabila ditelisik lebih dalam lagi. Hal ini sesuai yang disebutkan di sebuah media massa, bahwa perubahan kurikulum merupakan wujud nyata dari kegilaan pemerintah. Kurikulum pendidikan, terlihat seperti wabah penyakit bagi pengetahuan tingkat SD, SMP, dan SMA. Sebagaimana pemberitaan di media cetak yang mengatakan orientasi SD akan diarahkan hanya pada ranah sikap, SMP diarahkan hanya pada ranah keterampilan, dan SMA hanya pada ranah pengetahuan. Ini merupakan hal yang sangat tidak masuk akal, karena pada dasarnya sikap, keterampilan, dan pengetahuan adalah hal yang berkesinambungan.
Tidak hanya itu, kurikulum ini juga akan memangkas jumlah mata pelajaran di SD, SMP, dan SMA. Padahal bangsa kita cukup terkenal dengan berbagai prestasi gemilang pada kompetisi-kompetisi tingkat internasional. Jika seandainya pengetahuan sains dihilangkan sejak dini, sudah bisa dibayangkan, hal yang akan terjadi adalah menurunnya prestasi bangsa dan akan menyakiti peserta didik, sebab mereka sudah memiliki rasa cinta terhadap Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), hanya saja mereka belum mampu meng-explore lebih dalam kemampuannya itu.
Kurikulum 2013 yang dirumuskan secara tergopoh, sepertinya juga disusun atas dasar substansi pendidikan yang masih tidak jelas, sehingga rujukan utama hanyalah pikiran pemerintah (baca: Kemdikbud) yang telah terobsesi membuat gagasan keren (menurutnya), tetapi mengambang, yaitu pendidikan karakter dan daya saing. Alhasil, produknya tidak menunjukkan suatu koherensi utuh.
Sekretaris Jendral National Education Watch, Jonner Sipangkar, mengatakan bahwa konsep yang diusung pada kurikulum baru ini tidak ada yang baru. Semua yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini, hanya mengulang kurikulum dulu yang pernah digunakan sebelumnya. Rancangan kurikulum 2013 ini akan resmi dan diterapkan pada bulan Juli 2013 mendatang apabila tidak ditemukan kendala. Namun, berbagai pro-kontra telah menyambut lahirnya kurikulum baru. Masyarakat banyak memprotes, menyoal pengurangan mata pelajaran dan penambahan jam belajar. Esensi perubahannya pun condong buram.
Memang, perubahan kurikulum merupakan hal biasa, bahkan sudah menjadi agenda rutinitas yang harus dilaksanakan oleh negara berkembang dan tujuannya tak lepas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Idealnya perubahan ini dilaksanakan sekali sepuluah tahun.  Akan tetapi menjadi tanda tanya besar, kenapa pemerintah begitu tergesa-gesa menerapkan perubahan ini secara nasional. Sebaiknya, pemerintah mengkaji ulang kurikulum 2013 ini, karena kurikulumlah yang akan menentukan laju perkembangan pengetahuan dan kehidupan masyarakat di masa depan.
Mengingat tidak sedikit biaya yang diperlukan dan konsekuensi lainnya, bisa jadi akan berakibat tidak baik bila penerapannya tidak tepat. Semoga pembuat kebijakan pendidikan mendengar dan mau mengakomodir masukan-masukan dari berbagai pihak, termasuk kegelisahan-kegelisahan di masyarakat yang berkaitan dengan rencana pemberlakuan kurikulum 2013 tersebut, kemudian dapat mengambil langkah yang tepat dan bijaksana. Demi kemaslahatan bersama, seluruh bangsa Indonesia.